Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepribadian Otoriter dan Penjelasannya

Kepribadian otoriter merupakan bentuk hipotesis tipe kepribadian yang ditandai dengan sikap ketaatan ekstrem dan rasa hormat yang tidak perlu dari otoritas eksternal itu sendiri, yang direalisasikan dalam bentuk penindasan bawahannya [1]. Secara konsep, istilah kepribadian otoriter berasal dari karya Erich From, yang diterapkan pada pria ataupun wanita yang menunjukkan kepribadian yang tegas dan menindas terhadap bawahannya [2].

Sebelum mempelajari materi tentang Kepribadian Otoriter dan Penjelasannya, terlebih dahulu pelajari materi tentang: Alasan Squidward Tentacles Tidak Memakai Celana, Contoh Surat Izin Tidak Masuk Sekolah, dan Cara Mengatasi Insomnia dan Penjelasannya.

Sejarah Sikap Otoriter

Dalam karya The Authoritarian Personality yang diterbitkan pada tahun 1950 oleh Theodor W. Adorno dan Else Frenkel-Brunswik, Daniel Levinson dan Nevitt Sanford mengusulkan bahwa tipe kepribadian otoriter melibatkan "individu yang berpotensi fasis" [3]. Latar belakang sejarah yang memengaruhi perkembangan teori kepribadian otoriter adalah kebangkitan fasisme pada tahun 1930-an, Perang Dunia Ke-II pada tahun 1939-1945, dan tragedi Holocaust, yang mengindikasikan bahwa individu fasis secara psikologis rentan terhadap ideologi yang bersifat ekstrem tersebut.

Tipe Kepribadian Otoriter

Kepribadian otoriter memiliki tingkat superego yang ketat, yang mengontrol rasa ego yang lemah yang tidak mampu mengatasi dorongan kuat dari dirinya sendiri. Konflik intrapsikis yang dihasilkan menyebabkan rasa ketidakamanan pribadi, yang mengakibatkan rasa superego tersebut mengikuti norma-norma konvensional yang sifatnya dipaksakan secara eksternal atau konvensionalisme, dan rasa patuh yang tidak dapat dipertanyakan lagi kepada otoritas yang memaksakan dan mengelola norma-norma sosial masyarakat tersebut atau merupakan bentuk sikap ketundukan mutlak. Mekanisme pertahanan ego dari proyeksi psikologis muncul ketika seseorang yang bersikap otoriter menghindari referensi diri dan impuls yang menghasilkan rasa cemas, dengan memproyeksikan impuls tersebut ke kelompok sosial minoritas dari budaya tertentu, yang diekspresikan dengan cara keyakinan yang sangat evaluatif dan bersikap menghakimi terhadap ketangguhan dan kekuatan dan bersifat stereotif kaku.

Orang yang mempunyai sikap otoriter juga menampilkan pandangan yang sinis dan merendahkan rasa kemanusiaan, dan kebutuhan untuk menggunakan kekuasaan dan menjadi tangguh, yang muncul dari rasa cemas yang dihasilkan oleh penyimpangan yang dirasakan dari orang-orang yang tidak patuh terhadap norma-norma sosial yang telah ditetapkan atau bersifat desktruktif dan sinisme. Orang-orang yang mempunyai sikap otoriter mempunyai kecenderungan umum untuk bersikap fokus pada orang-orang yang melanggar sistem nilai yang telah ditetapkan dan bertindak menindas terhadap orang-orang yang telah melanggar tersebut secara agresif. Bentuk lain dari sikap otoriter adalah anti-intelektualisme, dimana orang tersebut bersikap oposisi terhadap pemikiran umum subjektif dan imajinatif atau anti-intrasepsi, yang memiliki kecenderungan untuk percaya pada tekad mistik atau tahayul dan perhatian berlebih terhadap pergaulan yang bersifat bebas.

Dalam perkembangan psikologis manusia, pembentukan kepribadian otoriter terjadi dalam tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, yang sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh kepribadian orang tua dan struktur organisasi keluarga dilingkungan anak. Dengan demikian, hubungan antara orang tua dan anak yang hierarkis, otoriter, dan eksploitatif dapat mengakibatkan anak berkembang ke arah sifat yang otoriter [4]. Karakter kepribadian otoriter dipupuk oleh orang tua yang memiliki kebutuhan psikologis yang sifatnya mendominasi, dan dengan keras mengancam anaknya untuk menjadi patuh pada perilaku konvensional yang telah ditetapkan. Selain itu, orang tua yang mendominasi seperti itu juga dapat disibukkan dengan status sosial, dimana kekhawatiran individu mengkomunikasikan apa yang dirinya rasakan terhadap perilaku anak untuk dapat mengikuti aturan eksternal yang bersifat kaku tersebut. Sebagai konsekuensi dari sikap dominasi tersebut, anak akan merasa menderita secara emosional karena tekanan perasaan agresi dan benci terhadap orang tua yang terlalu mendominasi, dan rasa hormat yang sangat dominan oleh anak terhadap orang tua, dimana orang tua tersebut tidak bisa menerima sikap kritik sama sekali.

Baca Juga:

Hubungan Terhadap Ketidaksetaraan Gender

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Brandt dan Henry, menyatakan bahwa terdapat korelasi langsung antara ketidaksetaraan gender terhadap tingkat gagasan otoriter dalam populasi manusia pria dan wanita. Ditemukan pula bahwa di negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang lebih rendah, maka individu laki-laki akan selalu mendukuki peran sosial yang lebih dominan daripada wanita, dimana wanita lebih cenderung mendukung sifat-sifat seperti ketaatan atau kepatuhan yang memungkinkan untuk tetap bertahan hidup dilingkungan yang otoriter dan cenderung tidak mendorong kemandirian dan kreativitas, sedangkan di negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang lebih tinggi, laki-laki memiliki pandangan yang kurang otoriter terhadap lingkungannya. Teori lain juga menyatakan bahwa sikap otoriter pada suatu lingkungan terjadi karena stigma yang melekat pada individu yang mempertanyakan norma-norma budaya yang ditetapkan oleh individu yang dominan dan berpendirian dalam lingkungan masyarakat yang otoriter sebagai cara untuk mencegah tekanan psikologis yang disebabkan oleh pengucilan aktif terhadap individu yang distigmatisasi [5].

Masalah yang terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Brandt dan Henry adalah negara-negara dengan tingkat egalitarianisme tertinggi seperti Skandinavia, memiliki lebih banyak populasi laki-laki dalam posisi kekuasaan yang berperan dalam sektor swasta seperti manajemen daripada negara lain seperti Amerika Serikat. Dalam kondisi ini, jiwa individualisme jauh lebih didorong pada negara seperti Amerika Serikat, sedangkan untuk negara seperti Swedia dan Denmark sikap individu tersebut lebih banyak mendapatkan serangan-serangan dari lingkungannya [6].

Interpretasi

Bob ALtemeyer menggunakan skala otiritarianisme sayap kanan (RWA), untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mendeskripsikan ciri-ciri kepribadian seseorang yang memiliki sifat otoriter [7]. Tipe kepribadian politik yang diidentifikasi dengan skala tersebut menunjukkan bahwa ada tiga kecenderungan psikologis dan kelompok sikap yang menjadi ciri dari kepribadian otoriter, yaitu:
  • Ketundukan kepada otoritas yang sah.
  • Agresi terhadap kelompok minoritas yang diidentifikasi oleh pihak berwenang sebagai sasaran kekerasan politik yang disetujui.
  • Ketaatan terhadap nilai-nilai budaya dan keyakinan politik yang disahkan oleh pihak berwenang [8].

Dimana kegiatan penelitian tersebut diukur dengan skala keterbukaan NEO-PI-R, yang menunjukkan korelasi negatif (r=0,57) antara sifat kepribadian keterbukaan dan pengalaman, dari Model Lima Faktor kepribadian manusia.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Jost, Glaser, Arie W. Kruglanski, dan Sulloway pada tahun 2003 menunjukkan bahwa otoritarianisme dan otoritarianisme sayap kanan merupakan konstruksi ideologis untuk kognisi sosial, dimana kaum konservatif politik memandang bahwa orang-orang yang dalam hal ini adalah inividu lain diluar golongannya adalah bukan bagian dari lingkungan. Kepribadian otoriter dan kepribadian konservatif juga memiliki dua sifat utama, yaitu:
  • Resistensi terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi.
  • Pembenaran terhadap ketidaksetaraan sosial dilingkungan masyarakat.

Orang-orang dengan kepribadian konservatif memiliki kebutuhan psikologis untuk mengelola ketidakpastian dan ancaman eksistensial dengan motif situasional untuk berjuang dalam dominasi hierarki sosial dengan motif disposisional harga diri dan pengelolaan rasa takut atau cemas.

Penelitian tentang ideologi, politik, dan prasangka rasis, yang dilakukan oleh John Duckitt dan Shris Sibley, mengidentifikasi dua jenis pandangan dalam dunia otoriter, yaitu:
  • Bahwa dunia sosial itu berbahaya, yang dapat mengarah pada otoritarianisme sayap kanan.
  • Bahwa dunia adalah 'hutan persaingan' yang kejam, yang mengarah pada orientasi dominasi sosial [9].

Dalam meta-analisis penelitian, Sibley dan Duckitt menjelaskan bahwa skala orientasi sosial dapat membantu untuk mengukur generalisasi prasangka dan sikap otoriter lainnya yang dapat eksis dalam suatu kelompok sosial. Meskipun skala otoritarianisme sayap kanan dan skala orientasi dominasi sosial dapat secara akurat mengukur kepribadian otoriter, namun kedua skala tersebut tidak berkorelasi sama sekali [10].

Kritik

Pengukuran paling penting dari para peneliti terhadap skala otoritarianisme adalah skala-F, yang dirancang untuk memanfaatkan seperangkat keyakinan yang dianggap berkaitan dengan otoritarianisme tanpa perlu kelompok-kelompok tertentu yang harus dituju. Kirscht dan Dilehay pada tahun 1967 [11] menguraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan penelitian Berkeley, termasuk pada bias respon, dimana Bias respon dihasilkan dari skala F adalah disusun secara seragam dalam arah yang dikonfirmasi. Oleh karena itu, jika seseorang cenderung untuk menanggapi sesuai dengan item yang telah disediakan, terlepas dari isi yang didapat, maka orang tersebut dinilai sebagai orang yang memiliki sikap otoriter oleh hasil tes tersebut. Beberapa penelitian lain yang telah menunjukkan lebih banyak varians dari skala-F dapat pula menjelaskan bias respon ketimbang isi item (Kirscht & Dillehay, 1967).

Penelitian lain yang dilakukan terhadap 16 penjahat Nasi di pengadilan Nurenberg yang dilaporkan dalam karya Zillmer pada tahun 1995 [12] yang dilakukan oleh dokter menggunakan tes Rorschach menggunakan skala-F untuk otoritarianisme, menemukan bahwa para mantan Nasi tersebut mendapatkan skor tertinggi dari tiga dimensi pengamatan seperti anti-intrasepsi, takhayul dan stereotip, dan proyektifitas.

Salah satu aplikasi pertama dari skala otoriter dalam dunia akademis adalah yang dikemukan oleh Stern dan rekan-rekannya, pada awal tahun 1950-an, di Universitas Chikago [13]. Dimana skala tes tersebut membentuk sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa siswa otoriter akan mengalami kesulitan dalam sains dan humaniora, dan penggunaan skala sikap adalah prediktor yang berhasil untuk digunakan dalam pengukuran kepribadian otoriter tersebut.

Keabsahan

Dari beberapa kritik terhadap teori sosiologi yang disajikan dalam The Authoritarian Personality yang diterbitkan pada tahun 1950, seperti validitas interpretasi psikoanalitik kepribadian, ketikdacukupan metodologis skala F Californiates Kepribadian, dan bias bahwa otoritarianisme hanya ada di sayap kanan spektrum politik, juga dikemukakan bentuk pendapat lain terhadap analisis yang meneliti pendekatan kepribadian otoriter yang ditulis oleh CG Sibley dan J. Duckitt yang melaporkan bahwa penelitian yang lebih baru telah menghasilkan dua skala pengukuran yang lebih efektif terhadap kepribadian otoritatif, dimana skala pertama disebut sebagai Right Wing Authoritarianism dan skala kedua disebut Social Dominance Orientation. Keduanya telah terbukti sangat andal dalam melakukan prediksi prasangka dan karakteristik lain yang berkaitan dengan kepribadian otoritatif [14].

Dalam kepribadian Anti-otoriter yang dikemukakan pada tahun 1977 oleh WP Kreml juga menemukan bahwa ada kesamaan gaya antara otoriter dan anti-otoriter, dan konsruksi variabel tersebut adalah sebagai berikut:
  • Kebutuhan relatif akan ketertiban.
  • Kebutuhan relatif akan kekuasaan.
  • Penolakan atau penerimaan impuls.
  • Ekstroversi vs introversi, membedakan dua jenis kepribadian, dan dapat mendukung teori psiko-politik spektrum penuh [15].

Wiggins juga memberikan penjelasan mendalam tentang bagaimana konstruksi otoriter merupakan contoh pendekatan sintetis untuk penilaian kepribadian. Singkatnya, dalam pendekatan sintektik, asumsinya menyatakan bahwa dirinya yang memiliki karakteristik kepribadian otoriter dinilai dengan model intuitif peneliti tentang karakteristik apa yang sesuai dengan persyaratan peran kriteria dari situasi yang diprediksi dalam bentuk dukungan fasisme. Oleh karena itu, ini bukan sebuah pendekatan prediksi yang sepenuhnya bersifat empiris, melainkan berdasarkan hasil analisis situasional dari kriteria dan karakteristik psikologis yang diintuisi untuk dinilai sesuai dengan situasi tertentu. Juga, Jost, Glaser, Kruglanski, dan Sulloway pada tahun 2003 telah menyajikan bagaimana penelitian tradisional dalam otoritarianisme atau konservatisme telah mengacaukan variabel psikologis seperti karakter kepribadian dengan kriteria politik atau sikap konservatif. Oleh karena itu skala yang mengukur perbedaan individu pada otoritarianisme sering kali memasukkan kriteria pernyataan sikap ideologi politik, walaupun sebenarnya kedua hal tersebut adalah berbeda.

Konstruksi kepribadian untuk kepribadian otoriter mengusulkan bahwa lingkungan sosial memengaruhi ekspresi prasangka, berdasarkan kekuatan sosial pada waktu tertentu, karena ideologi otoriter diciptakan dalam lingkungan budaya tertentu. Namun, dalam "The Social Being and Social Psychology" yang diterbitkan pada tahun 1998 oleh S. Taylor [16] mengemukakan bahwa hipotesis interaksi masyarakat dan orang yang memiliki sikap atau pandangan otoriter telah hilang dari kegiatan penelitian selanjutnya yang mengemukakan skala F dalam studi psikologi diferensial.

Contoh dampak sosial yang dikemukakan oleh Gibb pada tahun 1969 [17] dalam kritiknya terhadap ciri-ciri kepribadian dan kepemimpinan, dimana sebuah studi lain yang dilakukan oleh Katz menyarankan bahwa situasi sosial dapat mengesampingkan perbedaan kepribadian dalam suatu kelompok. Dalam penelitian tersebut, dilakukan penelitian terhadap kelompok siswa kulit putih dan kulit hitam. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa beberapa kelompok ras campuran memiliki siswa yang mendapatkan skor F otoriter tertinggi, dan pada kelompok campuran lainnya, mendapatkan skor F rendah. Dari hasil penelitian tersebut perbandingkan siswa kulit putih otoriter tinggi dengan individu yang tidak mendapat skor otoriter menunjukkan bahwa tipe siswa sebelumnya lebih kooperatif dan kurang mau mendukung stereotif terhadap ras kulit hitam. Norma situasional terhadap persepsi prasangka mungkin saja telah memengaruhi siswa otoriter untuk bertindak kurang merugikan guna menyesuaikan diri dengan norma yang telah ditentukan pada suatu lingkungan tertentu. Penelian lain yang dilakukan oleh Altemeyer menunjukkan bahwa dari sembilan komponen kepribadian yang telah dihipotesiskan, hanya tiga komponen saja yang memiliki korelasi, yaitu:
  • Penyerahan otoriter.
  • Agresi otoriter.
  • Konvensionalisme [18].

Referensi Tambahan:

Artikel ini didedikasikan kepada: Agus Trianto, Ahmad Hafizhuddin Auzan, Ahmad Miftah Fariz, Ainul Hakim, dan Aisya Najma Millatina.

19 komentar untuk "Kepribadian Otoriter dan Penjelasannya"

  1. Balasan
    1. [1]

      The New Fontana Dictionary of Modern Thought, Third Edition, Allan Bullock and Stephen Trombley, Eds., p. 58.

      Hapus
    2. [2]

      Baars, J. & Scheepers, P. (1993). "Theoretical and Methodological Foundations of the Authoritarian Personality". Journal of the History of the Behavioral Sciences, 29, pp. 345–353.

      Hapus
    3. [3]

      Adorno, T. W.; Frenkel-Brunswik, E.; Levinson, D.J.; Sanford, R. N. (1950). The Authoritarian Personality. Harper & Brothers. ISBN 978-0-06-030150-7.

      Hapus
    4. [4]

      Adorno et al., The Authoritarian Personality (1950) pp. 482–484.

      Hapus
    5. [5]

      Brandt, Mark J.; Henry, P. J. (2012). "Gender Inequality and Gender Differences in Authoritarianism". Personality and Social Psychology Bulletin. 38 (10): 1301–15. doi:10.1177/0146167212449871. PMID 22733982. S2CID 14257738.

      Hapus
    6. [6]

      https://www.bbc.com/worklife/article/20190831-the-paradox-of-working-in-the-worlds-most-equal-countries

      Hapus
    7. [7]

      Altemeyer, Bob (1998) "The Other 'Authoritarian Personality' , Advances in Experimental Social Psychology, pp. 30, 47–91.

      Hapus
    8. [8]

      McCrae and Costa (1997). Conceptions and Correlates of Openness to Experience. Handbook of Personality Psychology,

      Hapus
    9. [9]

      Duckitt, John; Sibley, Chris G. (2009). "A Dual-Process Motivational Model of Ideology, Politics, and Prejudice". Psychological Inquiry. 20 (2–3): 98–109. doi:10.1080/10478400903028540. S2CID 143766574.

      Hapus
    10. [10]

      Sibley, Chris G.; Duckitt, John (2008-08-01). "Personality and Prejudice: A Meta-Analysis and Theoretical Review". Personality and Social Psychology Review. 12 (3): 248–279. doi:10.1177/1088868308319226. ISSN 1088-8683. PMID 18641385. S2CID 5156899.

      Hapus
    11. [11]

      Kirscht, JP, & Dillehay, RC. (1967). Dimensions of Authoritarianism: A Review of Research and Theory. University of Kentucky Press: Lexington, TN.

      Hapus
    12. [12]

      Zillmer, E. A., Harrower, M., Ritzler, B.A., and Archer, R.P. (1995). The Quest for the Nazi Personality: A Psychological Investigation of Nazi War Criminals. LEA Hillside, NJ

      Hapus
    13. [13]

      Wiggins, J.S. (1980). Personality and Prediction: Principles of Personality Assessment. Addison-Wesley. Reading, Mass.

      Hapus
    14. [14]

      Kreml, William P. The Anti-Authoritarian Personality (1977) Oxford;New York:Pergamon Press.ISBN 978-0-08-021063-6.

      Hapus
    15. [15]

      Jost, JT., Glaser, J., Kruglanski, AW., and Sulloway, FJ. (2003). "Political conservatism as motivated social cognition." Psychological Bulletin, 129. pp 339–375.

      Hapus
    16. [16]

      Taylor, S. (1998). "The social being in social psychology." In The Handbook of Social Psychology, 4th, ed. (Eds. Gilbert, D.T., Fiske, S., and Lindzey, G). pp. 58–95.

      Hapus
    17. [17]

      Gibb, C. A. (1969). "Leadership." The Handbook of Social Psychology, Vol IV. pp. 205–282. Lindzey. G., & Aronson, E. (Eds.). Addison-Wesley: Reading, Mass

      Hapus
    18. [18]

      Altemeyer, B. Right-Wing Authoritarianism (1981) University of Manitoba Press. ISBN 978-0-88755-124-6.

      Hapus

Hubungi admin melalui Wa : +62-896-2414-6106

Respon komentar 7 x 24 jam, mohon bersabar jika komentar tidak langsung dipublikasi atau mendapatkan balasan secara langsung.

Bantu admin meningkatkan kualitas blog dengan melaporkan berbagai permasalahan seperti typo, link bermasalah, dan lain sebagainya melalui kolom komentar.

- Ikatlah Ilmu dengan Memostingkannya -
- Big things start from small things -